UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan
nasional;
c. bahwa
setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia
akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara;
d. bahwa
setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti
pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan
tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga
perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;
Mengingat : Pasal
20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber
daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
3. Perbekalan
kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
4. Sediaan
farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen,
aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk
mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang
sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
6. Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
7. Fasilitas
pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
8. Obat
adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi, untuk manusia.
9. Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi
kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan
manusia.
11. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah
dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan
kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13. Pelayanan
kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan
kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan
akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar
kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan
kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi
sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.
16. Pelayanan
kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat
yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
17. Pemerintah
Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah
Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
18. Pemerintah
daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19. Menteri
adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri
dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan
lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
(1) Setiap
orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak
orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun
sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku
hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan
meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap
orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program
jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pemerintah
bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
(2) Tanggung
jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan
publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab
atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun
sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di
bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap
informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran
aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya
kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20
(1) Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem
jaminan social nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan
sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah
mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan
mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan
mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Tenaga
kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan
mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Tenaga
kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah.
(4) Selama
memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan
mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan
mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan
mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan
dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan
pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan
mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Pemerintah
mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah
daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
daerahnya.
(3) Pengadaan
dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan memperhatikan:
a. jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
b. jumlah
sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah
tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak
tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Untuk
kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas
permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang
keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi.
Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(1) Fasilitas
pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan
kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan
kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan
kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan
persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan
perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan
akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan;
dan
b. mengirimkan
laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau
Menteri.
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap
pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi
manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap
pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara
fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang
tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Pemerintah
daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas
wilayah;
b. kebutuhan
kesehatan;
c. jumlah
dan persebaran penduduk;
d. pola
penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi
sosial; dan
g. kemampuan
dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
(1) Pemerintah
menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan,
terutama obat esensial.
(2) Dalam
menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan
kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat
obat.
Pasal 37
(1) Pengelolaan
perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan
terpenuhi.
(2) Pengelolaan
perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar
tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan factor yang
berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38
(1) Pemerintah
mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan
potensi nasional yang tersedia.
(2) Pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin
baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.
(3) Pengembangan
perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 40
(1) Pemerintah
menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi
kepentingan masyarakat.
(2) Daftar
dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling
lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah
menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata
dan terjangkau oleh masyarakat.
(4) Dalam
keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan
dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan
mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan
mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan
kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional
harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya
dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah
daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
daerahnya.
(2) Kewenangan
merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku
secara nasional.
Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi
Pasal 42
(1) Teknologi dan produk teknologi
kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi
kesehatan masyarakat.
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan
penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan
memulihkan kesehatan setelah sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan
produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang
bertugas dan berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta
pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Dalam
mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji
coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan.
(2) Uji
coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak
merugikan manusia yang dijadikan uji coba.
(3) Uji
coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang berwenang dan
dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian
terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta
mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Setiap
orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat
berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam
bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan
upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan
kesehatan;
b. pelayanan
kesehatan tradisional;
c. peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan
reproduksi;
f. keluarga
berencana;
g. kesehatan
sekolah;
h. kesehatan
olahraga;
i. pelayanan
kesehatan pada bencana;
j. pelayanan
darah;
k. kesehatan
gigi dan mulut;
l. penanggulangan
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan
matra;
n. pengamanan
dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan
makanan dan minuman;
p. pengamanan
zat adiktif; dan/atau
q. bedah
mayat.
(2) Penyelenggaraan
upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Pasal 49
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan
upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama,
sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya
kesehatan.
(2) Upaya
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi
kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan
dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan
mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk
mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi individu
atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
didasarkan pada standar pelayanan minimal
kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
standar pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(1) Pelayanan
kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan
kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan
kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan
kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan
kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan
keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan lainnya.
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta
merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah
dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah
wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
(2) Standar
mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap
orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak
menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita
penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang
lebih luas;
b. keadaan
seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan
mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau
menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia
kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara
pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia
kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
(1) Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(1) Berdasarkan
cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan
kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi
oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta
tidak bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara dan jeni pelayanan kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
(1) Setiap
orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan
alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan
norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
(1) Masyarakat
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan
pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Pemerintah
mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan
masyarakat.
Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan
kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui
kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk
menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan
penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi
risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan
upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan
lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1) Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan,
mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau
menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan,
dan/atau perawatan.
(3) Pengendalian,
pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan
ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan
dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah
dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan
dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh,
implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta
penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ
dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 65
(1) Transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan
organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor
yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan,
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan
dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian
organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 68
(1) Pemasangan
implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau
alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 69
(1) Bedah
plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah
plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara bedah plastic dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat
dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta
dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan
reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.
(2) Kesehatan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat
sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan
kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan
sistem reproduksi.
(3) Kesehatan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani
kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari
paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan
kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan
sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta
tidak bertentangan dengan norma agama.
d. memperoleh
informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana
pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,
termasuk keluarga berencana.
Pasal 74
(1) Setiap
pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman
dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan.
(2) Pelaksanaan
pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan
mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Setiap
orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup
di luar kandungan; atau
b. kehamilan
akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum
kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh
tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan
izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia
layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu,
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
(1) Pelayanan
kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan
usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah
bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat
dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan
terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan
mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
(1) Kesehatan
sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik
dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan
berkembang secara harmonis dan setinggitingginya menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas.
(2) Kesehatan
sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah
formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan
mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(1) Upaya
kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat.
(2) Peningkatan
derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan
olahraga.
(3) Upaya
kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
Pasal 81
(1) Upaya
kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa
mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan
upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
Pasal 82
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber
daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada
tanggap darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan
kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan
lebih lanjut.
(4) Pemerintah
menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau
bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Setiap
orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik
bagi pasien.
(2) Pemerintah
menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan
pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Dalam
keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas
pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta
uang muka terlebih dahulu.
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
Pasal 86
(1) Pelayanan darah merupakan upaya
pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan
tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria
seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor
darah sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan untuk
pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah
penularan penyakit.
Pasal 87
(1) Penyelenggaraan
donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
(2) Unit
Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang kepalangmerahan.
Pasal 88
(1) Pelayanan
transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian
darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan
pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan
penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi
darah.
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk
pelayanan transfusi darah.
Pasal 90
(1) Pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses,
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah
menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah
dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen
darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil
proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan
oleh Pemerintah.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 93
(1) Pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan
penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu,
terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan
gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha
kesehatan gigi sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan
tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau
oleh masyarakat.
Bagian Ketiga Belas
Penanggulangan Gangguan Penglihatan
dan Gangguan Pendengaran
Pasal 95
(1) Penanggulangan
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan semua kegiatan yang
dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan, dan
pendengaran masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan
dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Matra
Pasal 97
(1) Kesehatan
matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba
berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan
matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta
kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan
kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan
mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,
bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan
farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber
sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat
dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta
pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah
menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber
obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga
kelestariannya.
(2) Pemerintah
menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Ketentuan
mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
(1) Penggunaan
sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
(2) Ketentuan
mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 103
(1) Setiap
orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika
wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan
mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional
harus dilakukan secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan
farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus
memenuhi syarat farmakope Indonesia
atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan
farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan
dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah
berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian
terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan,
dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan
alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Praktik
kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan
mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah,
serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan
dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar
aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.
Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan
produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan
minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh
dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan
dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar
dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan
dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap
makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama
produk;
b. Daftar
bahan yang digunakan;
c. Berat
bersih atau isi bersih;
d. Nama
dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah
Indonesia;
dan
e. Tanggal,
bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian
tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara
benar dan akurat.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik
dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi
produksi, pengolahan, pendistribusian makanan,ndan minuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.
Bagian Ketujuh Belas
Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 113
(1) Pengamanan
penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu
dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat
adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang
mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya
dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi,
peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas
pelayanan kesehatan;
b. tempat
proses belajar mengajar;
c. tempat
anak bermain;
d. tempat
ibadah;
e. angkutan
umum;
f. tempat
kerja; dan
g. tempat
umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan
kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung
zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan Belas
Bedah Mayat
Pasal 117
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi dan
sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila
kematian batang otak telah dapat dibuktikan.
Pasal 118
(1) Mayat
yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
(2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya identifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah
sakit.
(2) Bedah
mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan
diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah
mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan
tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam
hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan
bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 120
(1) Untuk
kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan
bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan
kedokteran.
(2) Bedah
mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya,
atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan
tertulis keluarganya.
(3) Mayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk
dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai
dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam
hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan
adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum
dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter
lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada
dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung
jawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada
tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan
organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan
pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai
dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau
pemeriksaan mayat untuk kepentingan hokum ditanggung oleh pemerintah melalui
APBN dan APBD.
BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak
Pasal 126
(1) Upaya
kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian
ibu.
(2) Upaya
kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah
menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah
hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan
kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 128
(1) Setiap
bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama
pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan
fasilitas khusus.
(3) Penyediaan
fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja
dan tempat sarana umum.
Pasal 129
(1) Pemerintah
bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk
mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan
lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi
dan anak.
Pasal 131
(1) Upaya
pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan
generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan
angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya
pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya
pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga,
masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan
dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan
mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap
anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 133
(1) Setiap
bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi
dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan
bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan
standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya
dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang
diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat
bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak
membahayakan kesehatan anak.
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya
pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang
dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya
pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk
reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang
dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
(3) Upaya
pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah
berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan
layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.
(2) Ketentuan
mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi,
informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya
pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar
tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(2) Pemerintah
wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara
sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya
pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar
tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah
wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial
dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
BAB VIII
GIZI
Pasal 141
(1) Upaya
perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan
dan masyarakat.
(2) Peningkatan
mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a. perbaikan
pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;
b. perbaikan
perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;
c. peningkatan
akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi;
dan
d. peningkatan
sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan
makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.
(4) Pemerintah
berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyediaan
bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara lintas sektor
dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya
perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan
sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi
dan balita;
b. remaja
perempuan; dan
c. ibu
hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah
bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan
gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah
bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam
situasi darurat.
(4) Pemerintah
bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi
kepada masyarakat.
(5) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk mencapai status gizi
yang baik.
Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan
status gizi.
BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya
kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya
kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif,
promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial.
(3) Upaya
kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi
kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas,
mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat
(2).
(5) Pemerintah
dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa
berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan,
termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya
kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk
menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
144 ayat (3).
Pasal 146
(1) Masyarakat
berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak
asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah
dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi
tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147
(1) Upaya
penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(2) Upaya
penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi
penderita.
(3) Untuk
merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan
khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 148
(1) Penderita
gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap
aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
Pasal 149
(1) Penderita
gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum
wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah
dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan
kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum
psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa
pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan
status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa
dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan
standar profesi.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu
Penyakit Menular
Pasal 152
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakatbertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang
sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan
ekonomi akibat penyakit menular.
(3) Upaya
pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian
sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap
lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan
upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam
melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat
melakukan kerja sama dengan negara lain.
(8) Upaya
pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman,
bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya
pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.
Pasal 154
(1) Pemerintah
secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi
menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah
dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam
melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat
melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah
menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah
daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit
yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta
menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah
daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam
melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah
daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina,
dan lama karantina.
(5) Pemerintah
daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi
menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta
menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah,
letusan, atau kejadian luar biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan
wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian
luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan
wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 157
(1) Pencegahan
penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita
penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam
pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang
dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber
penyakit lain.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular
Pasal 158
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan
penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular
beserta akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya
pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 159
(1) Pengendalian
penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan faktor risiko,
registri penyakit, dan surveilan kematian.
(2) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh informasi yang esensial
serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian
penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama lintas sektor
dan dengan membentukjejaring, baik nasional maupun internasional.
Pasal 160
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan
komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit
tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor
risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak
seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku
berlalu lintas yang tidak benar.
Pasal 161
(1) Manajemen
pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum
pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional
sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima,
mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini
dan pengobatan penyakit tidak menular.
BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat
dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan
sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman, tempat
kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan
sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang
menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
a. limbah
cair;
b. limbah
padat;
c. limbah
gas;
d. sampah
yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. binatang
pembawa penyakit;
f. zat
kimia yang berbahaya;
g. kebisingan
yang melebihi ambang batas;
h. radiasi
sinar pengion dan non pengion;
i. air
yang tercemar;
j. udara
yang tercemar; dan
k. makanan
yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan
mengenai standar baku
mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya
kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
(2) Upaya
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja di sektor
formal dan informal.
(3) Upaya
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi setiap orang
selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga
bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia
baik darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah
menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).
(6) Pengelola
tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas
terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola
tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di
lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola
tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja
wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati
peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam
penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil
pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan
atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya
pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan
atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang
diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah
memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
(1) Pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan,
sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan
pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan,
serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan
kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.
(3) Pengelolaan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam suatu sistem
kesehatan nasional.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN
Pasal 168
(1) Untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi
kesehatan.
(2) Informasi
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi
dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh
akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170
(1) Pembiayaan
kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara
berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan
agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur
pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber
pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar
anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja negara di luar gaji.
(2) Besar
anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar
gaji.
(3) Besaran
anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya
2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan
di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut
usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi
pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau
asuransi kesehatan komersial.
(2) Ketentuan
mengenai tata cara penyelenggaraan system jaminan sosial nasional dan/atau
asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
(1) Masyarakat
berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala
bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Peran
serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara aktif
dan kreatif.
BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang
memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan.
Pasal 176
(1) Badan
pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.
(2) Badan
pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional
selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Badan
pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD berkedudukan di
provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Kedudukan
BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai
pada tingkat kecamatan.
Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang
Pasal 177
(1) BPKN
dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan
sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN
dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang antara
lain:
a. menginventarisasi
masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi dan data yang relevan atau
berpengaruh terhadap proses pembangunan kesehatan;
b. memberikan
masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan kesehatan selama kurun waktu
5 (lima) tahun;
c. menyusun
strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan;
d. memberikan
masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk
pembangunan kesehatan;
e. melakukan
advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua sumber agar pemanfaatannya
efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan;
f. memantau
dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan
korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang
menyimpang.
(3) BPKN
dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan pembiayaan BPKN dan
BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 178
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap
masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan
untuk:
a. memenuhi
kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
b. menggerakkan
dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;
c. memfasilitasi
dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan
perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan
dan minuman;
e. memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;
f. melindungi
masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui:
a. komunikasi,
informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;
b. pendayagunaan
tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat
memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap
kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 182
(1) Menteri
melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang
berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
(2) Menteri
dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan
upaya kesehatan.
(3) Menteri
dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di
provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang
kesehatan.
(4) Menteri
dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182
dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok
untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183,
tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki
setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa
perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya
pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan
apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda
pengenal dan surat
perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut
diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib
melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 188
(1) Menteri
dapat mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Menteri
dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota
yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(3) Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan
secara tertulis;
b. pencabutan
izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.
BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara
Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan
yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di
bidang kesehatan;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
kesehatan;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan
pemeriksaan atas surat
dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
e. melakukan
pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana
di bidang kesehatan;
f. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
(1) Pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik
atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan
rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan
dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan
mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 199
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan
kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap
orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air
susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191,
Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan
oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan
3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa:
a. pencabutan
izin usaha; dan/atau
b. pencabutan
status badan hukum.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan
Undang-Undang ini.
Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2009 NOMOR 144144
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
I.
UMUM
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita
bangsa Indonesia yang
sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan
sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat
penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur
berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan
mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN
1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring
dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang
sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan
teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum
terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan
(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah
bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan
dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.
Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan
sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.
Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih
belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga
di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini
masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai
suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah
paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma
kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan
kuratif dan rehabilitatif.
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan
sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan
sakit.
Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari
sentralisasi menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang
kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah
diberi kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah.
Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang
dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era
globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu
Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan
arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai
berikut:
(1)
asas
perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak
membedakan golongan agama dan bangsa.
(2)
asas
keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara
material dan sipiritual.
(3)
asas
manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap
warga negara.
(4)
asas
pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan
pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan
kesehatan.
(5)
asas
penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan
dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan
kedudukan hukum.
(6)
asas
keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan
pembiayaan yang terjangkau.
(7)
asas
gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak
membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
(8)
asas
norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati
serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.
Pasal 3
Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai
pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata
dari setiap orang atau masyarakat.
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara
terus menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan
dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 4
Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Agar upaya kesehatan berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu
merencanakan, mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan
ataupun sumber dayanya secara serasi dan seimbang dengan melibatkan peran serta
aktif masyarakat
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata
kepada masyarakat, diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam
arti pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai ke
daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan
kesehatan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Pasal 19
Untuk melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat diperlukan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh
wilayah sampai daerah terpencil yang mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Pada prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan
dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ditujukan kepada seluruh tenaga kesehatan
dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan
sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi
tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat
dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis,
dan tenaga kesehatan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga
kesehatan di luar tenaga medis.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kewenangan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kewenangan yang
diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan
pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Selama memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus mengutamakan
indikasi medik dan tidak diskriminatif, demi kepentingan terbaik dari pasien
dan sesuai dengan indikasi medis.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dimaksudkan agar
memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur sendiri pengadaan dan
pendayagunaan tenaga kesehatan yang diperlukan sesuai kebutuhan daerahnya
dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan
yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi
pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi
dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator
yang disepakati oleh para pihak.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi tenaga kesehatan yang sedang menjalani proses belajar diberikan
izin secara kolektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “obat generik” adalah obat generik dengan menggunakan
nama Internasional Non Propertery Name (INN).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
ditujukan untuk menghasilkan informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi,
dan teknologi informasi (TI) kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan.
Pengembangan teknologi, produk teknologi, teknologi informasi (TI) dan
Informasi Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hak kekayaan intelektual
(HKI). Untuk penelitian penyakit infeksi yang muncul baru atau berulang (new
emerging atau re emerging diseases) yang dapat menyebabkan kepedulian
kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (public health emergency of
international concern/PHEIC) harus dipertimbangkan kemanfaatan (benefit sharing)
dan penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system) demi untuk
kepentingan nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “teknologi kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
cara, metode, proses, atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan
pemanfaatan disiplin ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang menghasilkan
nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan
manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsure perguruan
tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga
penunjang. Lembaga penelitian dan pengembangan kesehatan berfungsi menumbuhkan
kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan uji coba adalah bagian dari kegiatan penelitian
dan pengembangan. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan
metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan
keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran
suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
menarik simpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya
untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru. Ilmu pengetahuan adalah
rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis
dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah,
baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk
menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
Ayat (2)
Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji coba
wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat
manusia (respect for persons) yang bertujuan menghormati otonomi dan
melindungi manusia yang otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence)
dan tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).
Ayat (3)
Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan
dan keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan pengembangan yang menggunakan
manusia sebagai subjek harus mendapat informed consent. Sebelum meminta
persetujuan subyek penelitian, peneliti harus memberikan informasi mengenai
tujuan penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan hasilnya, jaminan
kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi, metode yang digunakan, risiko
yang mungkin timbul dan hal lain yang perlu diketahui oleh yang bersangkutan
dalam rangka penelitian dan pengembangan kesehatan.
Ayat (4)
Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan hewan dengan
sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah (nonsentient organism)
dan hewan yang paling rendah pada skala evolusi. Keberhati-hatian (caution)
yang wajar harus diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan dan
kesehatan hewan yang digunakan dalam penelitian harus dihormati.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditujukan bagi pengembangan
teknologi dan/atau produk teknologi yang bertujuan untuk penyalahgunaan sebagai
senjata dan/atau bahan senjata biologi, yang menimbulkan bahaya bagi
keselamatan manusia, kelestarian fungsi lingkungan, kerukunan bermasyarakat,
keselamatan bangsa, dan merugikan negara, serta membahayakan ketahanan
nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Yang termasuk “kerugian” akibat pelayanan kesehatan termasuk didalamnya
adalah pembocoran rahasia kedokteran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggunaan alat dan teknologi” dalam ketentuan
ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang
dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan tertentu” dalam
ketentuan ini adalah fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri yang telah memenuhi
persyaratan antara lain peralatan, ketenagaan dan penunjang lainnya untuk dapat
melaksanakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan, pelayanan kesehatan,
pendidikan serta kepentingan lainnya. Kepentingan lainnya adalah surveilans,
investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB), baku mutu keselamatan dan keamanan
laboratorium kesehatan sebagai penentu diagnosis penyakit infeksi, upaya koleksi
mikroorganisme, koleksi materi, dan data genetik dari pasien dan agen penyebab
penyakit. Pengiriman ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai
maksud dan tujuan pemeriksaan tidak mampu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan maupun
fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian dan pengembangan dalam
negeri, maupun untuk kepentingan kendali mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi
kemampuan standar diagnostik dan terapi oleh kelembagaan dimaksud. Pengiriman spesimen
atau bagian organ tubuh dimaksud harus dilegkapi dengan Perjanjian Alih
Material dan dokumen pendukung yang relevan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel dalam
tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu memperbaharui atau
meregenerasi dirinya dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain yang spesifik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap
orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan
pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki
keterampilan untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan
tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan
yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada
indikasi medis.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bencana” dalam ketentuan ini adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Pemerintah harus memfasilitasi tersedianya sumber daya dan pelaksanaan
pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana dan pascabencana.
Ayat (2)
Yang dimaksud “tanggap darurat bencana” dalam ketentuan ini adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Guna menjamin ketersediaan darah untuk pelayanan kesehatan, jaminan
pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi kepada unit transfusi
darah (UTD) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan bantuan lainnya.
Ayat (3)
Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap insan
tidaklah sepantasnya dijadikan objek jual beli untuk mencari keuntungan,
biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “proses pengolahan” dalam ketentuan ini adalah
pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel darah merah, sel darah putih
dan sel pembeku darah yang dilakukan oleh UTD dan biaya pengolahan tersebut
ditanggung oleh negara.
Yang dimaksud dengan “proses produksi” dalam ketentuan ini adalah
proses fraksionasi dimana dilakukan penguraian protein plasma menjadi antara
lain albumin, globulin, faktor VIII dan faktor IX dilakukan oleh industri yang
harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dikendalikan” dalam ketentuan ini termasuk
harga hasil produksi yang bersumber dari pengolahan darah transfusi.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase tumbuh
kembang:
a. Fase
janin;
b. Ibu
Hamil;
c. Anak-anak;
d. Remaja;
e. Dewasa;
dan
f. Lanjut
Usia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat untuk donor kornea
dan operasi katarak dalam rangka mencegah kebutaan dan pendengaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesehatan matra” dalam ketentuan ini adalah
kondisi dengan lingkungan berubah secara bermakna yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kesehatan lapangan” dalam ketentuan ini adalah
kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan didarat yang temporer dan
serba berubah. Adapun sasaran pokok adalah melakukan dukungan kesehatan
operasional dan pembinaan terhadap setiap orang yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam kegiatan dilapangan.
Yang dimaksud dengan “kesehatan kelautan dan bawah air” dalam ketentuan
ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan di laut dan yang
berhubungan dengan keadaan lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik)
dengan sasaran pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan
setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
pengoperasian peralatan laut dan dibawah air.
Yang dimaksud dengan “kesehatan kedirgantaraan” dalam ketentuan
ini adalah kesehatan matra udara yang mencakup ruang lingkup kesehatan
penerbangan dan kesehatan ruang angkasa dengan keadaan lingkungan yang
bertekanan rendah (hipobarik) dengan mempunyai sasaran pokok melakukan dukungan
kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan terhadap setiap orang secara
langsung atau tidak langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “buku standar lainnya” dalam ketentuan ini adalah
kalau tidak ada dalam farmakope Indonesia,
dapat menggunakan US
farmakope, British farmakope, international farmakope.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak
ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik
kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi,
bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Dalam pengaturan termasuk diatur penggunaan bahan tambahan makanan
dan minuman yang boleh digunakan dalam produksi dan pengolahan makanan dan
minuman.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan
tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan
persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk
menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.
Pasal 114
Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk
lainnya.
Pasal 115
Ayat (1)
Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan
tempat khusus untuk merokok.
Ayat (2)
Pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus mempertimbangkan
seluruh aspek secara holistik.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam ketentuan
ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus
dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping
air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah
kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu
berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa pembuatan
norma, standar, prosedur dan kriteria.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Ayat (1)
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan edukasi
serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi remaja dengan
memperhatikan masalah dan kebutuhan agar terbebas dari berbagai gangguan
kesehatan dan penyakit yang dapat menghambat pengembangan potensi anak.
Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan pendidikan
kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun luar sekolah untuk
meningkatkan kemampuan hidup anak dalam lingkungan hidup yang sehat sehingga
dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas.
Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang sehat,
cerdas dan produktif baik sosial maupun ekonomi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini adalah asupan
gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah resiko gizi lebih dan gizi
kurang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit menular dilakukan
dengan tidak melakukan tindakan yang dapat memudahkan penularan penyakit pada
orang lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh persen)
agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi daerah yang belum mempunyai
kemampuan agar dilaksanakan secara bertahap.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kepentingan pelayanan publik” dalam ketentuan
ini adalah pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif, pelayanan promotif,
pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang dibutuhkan masyarakat dalam
meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan efektif
dengan mengutamakan pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan besarnya
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50635063